Selasa, 08 Januari 2008

MEMASUKI GELANGGANG POLITIK

MEMASUKI GELANGGANG POLITIK
Orang-orang Baileo Maluku Ikut Pemilihan Umum 2004

Setelah melalui proses konsultasi panjang, sejak tahun 2002, dengan semua masyarakat basis yang mendesakkan agar ada orang-orang Baileo menempuh jalur politik resmi untuk memperjuangkan hak-hak dan aspirasi mereka, maka sampai Desember 2003 telah terseleksi belasan orang organiser lokal yang dipersiapkan mengikuti Pemilihan Umum 2004 sebagai calon-calon anggota legislatif. Beberapa partai politik yang akan dijadikan sebagai kendaraan nya juga sudah dipilih.



Sebagian besar dari mereka yang terpilih masuk politik tersebut, memang akan berkonsentrasi pada tingkat Kabupaten: memasuki gedung-gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat, Kepulauan Aru, Buru, dan Seram Timur! Tujuannya jelas sejak awal: mencoba langsung dari dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah ini agar benar-benar berfihak kepada rakyat setempat, bukan untuk kepentingan kelompok dan diri sendiri.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa kualitas anggota DPRD di beberapa Kabupaten di Maluku tersebut, sama seperti umumnya DPRD lain di Indonesia hasil Pemilu 1999, sangat memprihatinkan. Ambil contoh Maluku Tenggara. Sementara daerah ini masih merupakan salah satu kabupaten terpencil dan terkebelakang di Indonesia (bahkan dalam skala Propinsi Maluku sekalipun), para anggota DPRD nya malah sibuk dengan diri, kelompok, dan partai sendiri. Bahkan untuk memilih seorang Bupati saja, mereka sampai harus cakar-cakaran selama hampir 4 tahun! Mereka lupa (atau tak tahu?) salah satu diktum pokok lembaga demokrasi perwakilan: sekali terpilih dan berada disana, seseorang bukan lagi wakil partai, tapi wakil rakyat yang memilihnya, terutama masyarakat dari wilayah pemilihannya!

Sementara statistik mutakhir UNDP (Human Development Index 2001)masih menempatkan daerah ini sebagai kabupaten dengan pendapatan per kapita terendah, hanya sekitar US$ 319 (sekitar Rp 2,7 juta saja), para anggota DPRD nya malah terus menuntut kenaikan gaji, fasilitas mewah, ongkos jalan-jalan (studi banding?), dan berbagai macam tunjangan, termasuk tunjangan akhir jabatan, konon sebesar Rp 125 juta per orang, 50-60 kali lipat dari rerata penghasilan rakyat yang (katanya!) mereka wakili. Padahal, untuk membiayai belanja rutin pemerintah daerah saja, kabupaten ini masih mengandalkan bantuan pemerintah pusat melalui mekanisme Dana Alokasi Umum (DAU) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)!

Semua itu harus menjadi pelajaran penting bagi orang-orang Jaringan Baileo yang kini bersiap-siap maju untuk menggantikan mereka: jangan mengulangi semua kelemahan dan kesalahan semacam itu! Tengoklah DPRD Wonosobo, Jawa Tengah, misalnya, yang semua anggotanya bersepakat untuk digaji tak lebih dari rata-rata pendapatan per kapita penduduk yang mereka wakili. Sejak reformasi politik Indonesia tahun 1999, mereka telah mengukir sejarah sebagai DPRD yang relatif paling bersih dari korupsi dan perselingkuhan politik yang memuakkan, sesuatu yang oleh seorang pemikir politik dan aktivis gerakan sosial terkemuka abad ini, Herbert Marcuse, disebut sebagai kecabulan sosial (social pornography).

Dalam konteks Maluku Tenggara, khususnya Kepulauan Kei, pakar geografi politik yang menyelesaikan riset lapangan (1997-98) dan disertasi doktornya (2000) tentang Kei, Craig Thorburn, pernah menyimpulkan bahwa salah satu masalah utama yang menimbulkan banyak konflik di Kei selama ini adalah ...kekecewaan orang Kei terhadap para pejabat pemerintah dan politisi lokal mereka.

Menjadi wakil rakyat di DPRD adalah juga menjadi pemimpin. Dan, pepatah tua Kei menyebutkan: Buu enhelil kamear, ne man ite enhail yanan (Pemimpin wajib melindungi yang dipimpinnya [dari ancaman dan kekerasan]). Dalam politik modern, kekerasan bukan hanya fisik, tetapi juga struktural (structural violence), terutama akibat ketidakbecusan para pemimpin. Bukankah itu juga salah satu makna tersirat diktum pertama Hukum Adat Larwul Ngabal: Uud entauk na atvunad (Kepala bertumpu pada bahu)!? Jika pemimpin adalah kepala, bahu adalah rakyat yang dipimpinnya.

Sumber:Baileo.or.id
Jelas, tak ada kepala tegak tanpa bahu!

0 komentar: